Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Rabu, 24 Juni 2009

Indahnya Kebersamaan




Dari hasil-hasil lomba yang dijuarai anak-anak kita di Al Ashri, baik itu tingkat kota Makassar maupun tingkat Privinsi, bahkan tingkat nasional saat mengikuti jambore nasional Sekolah Islam Terpadu di Cibubur tahun lalu, boleh dikata Al Ashri telah menyandang nama besar. Apalagi, puluhan siswa yang mendaftar di SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) tahun ini, semuanya dapat melenggang masuk ke sekolah impiannya. Termasuk yang memilih menimba ilmu ke pesantren di Jawa.
Hal ini tentu saja atas kerjasama guru dan orangtua yang sangat solid. Bahkan dalam kegiatan lomba yang diadakan di sekolah, orangtua siswa selalu turut berpartisipasi, seperti tampak pada foto yang kami posting di tulisan ini.



Read More......

Selasa, 23 Juni 2009

Fun Cooking





Kata siapa memasak itu susah? Justru acara memasak adalah salah satu kegiatan yang disenangi siswa-siswa Al Ashri. Acara yang dikemas dengan nama FUN COOKING ternyata sangat diminati siswa. Bukan semata karena acara ini identik dengan acara makan-makan, tapi karena di Fun Cooking, siswa merasa berbangga karena merasa sudah bisa masak, sudah bisa mandiri. Dan tentunya, setelah tiba di rumah, bisa ikut bantu mama di dapur. Biasanya sebelum masak, siswa dikumpulkan di aula, kemudian diberi penjelasan tentang makanan yang akan dibuat. Setelah itu, siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang tugasnya beda. Tapi makannya, harus makan bersama lho!

Read More......

Minggu, 21 Juni 2009

CERPEN


Wajah mereka benar-benar hampa akan harapan saat aku melangkah menaiki bis. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan perihnya patah hati. Aku yakin, baginya, ini lebih dari patah hati. Setelah diberi harapan menapak masa depan, mengejar cita-cita, meraih bintang, tiba-tiba kompas yang diharapkannya harus hilang. Air mataku luruh. Lenganku bahkan tak bisa kuangkat untuk membalas lambaiannya, padahal bis sudah beranjak perlahan. Bergerak menjauh dari mereka, semakin jauh. Hingga akhirnya, hanya ruang di balik dadaku yang mampu mendengar tangis kehilangannya.

SEKOLAH KUNDANG
(CERPEN PEMENANG I LOMBA MENULIS CERPEN ISLAMI TINGKAT NASIONAL, MAJALAH ANNIDA, 2007)
Oleh : S. Gegge Mappangewa

TATAPANNYA melarangku pergi. Biasnya jauh berbeda dengan tatapannya dua bulan lalu, saat aku berdiri di depan kelasnya yang berdindingkan papan lapuk, untuk memperkenalkan diri sebagai guru baru. Beberapa bangku dan meja hampir senasib dengan dindingnya. Sebagian tripleks papan tulisnya pun telah terkelupas. Untung ada gambar Sultan Hasanuddin dan Cut Nyak Dien yang menghiasi dinding, hingga kelas itu sedikit berbeda dengan gudang. Pemandangan itu akan kutinggal kini.
”Jangan pergi, Kak!” Bukan hanya tatapan. Kini hatinya kudengar merintih. Meski bibirnya takkan pernah sanggup mengucapkan kalimat itu untukku.
Di luar rumah mulai ramai. Murid-muridku yang tak lebih dari tiga puluh orang dari tiga kelas yang tersedia di sekolahnya, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk melepas kepergianku. Kuraih jas almamater, lalu keluar menemuinya. Rustan, yang tatapan dan lirih hatinya dari tadi melarangku untuk pergi, mengikuti langkahku dari belakang.
”Kak Galang...!” teriak mereka dari depan tangga rumah panggung.
Aku berdiri di puncak tangga. Bukan hanya murid-muridku yang datang, tapi juga orangtuanya, beserta oleh-oleh untukku. Bawang merah, kol, kentang, wortel, dan banyak lagi jenis sayuran lain. Telah berdiri satu karung penuh isi, masih tersisa beberapa sayuran lagi yang belum masuk dalam karung. Kutatap satu per satu. Dua puluh tujuh orang. Semua hadir untuk melepas kepergianku.
”Kak Galang, jangan lupakan kami ya!” Rustan berucap dari belakangku.
Mereka memang memanggil kakak padaku. Aku tak mengajarnya memanggil pak guru. Aku ingin memasuki hati mereka tanpa ada batas. Ada kasihan yang mendarahkan perasaanku saat pertama menemukan mereka di kelas yang gaduh karena tak ada guru. Di sebuah dusun terpencil. Di antara perkebunan kopi dan ladang bawang. Di antara harapan mereka untuk menjadi manusia seutuhnya.
Awalnya aku bergidik membayangkan saat harus ditugaskan di sana. Di sebuah SD Kecil. Kecil karena muridnya hanya kelas satu hingga kelas tiga. Setelah naik kelas empat mereka akan dipindahkan ke satu-satunya sekolah negeri yang ada di Tongko, desa induk. Sekolah ini dibangun karena anak kelas satu hingga kelas tiga masih terlalu kecil untuk menenteng tas menyelusuri bukit, menyeberangi sungai, berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju sekolah satu-satunya yang ada di Tongko. Kalimbua nama dusun ini. Aku rela berpisah dengan teman KKN yang berposko di Tongko setelah mendengar cerita kepala desa tentang SD Kecil yang lebih banyak belajar bermain. Bukan metode active learning, tapi bermain sendiri tanpa guru.
Mungkin inilah yang disebut panggilan jiwa. Selain rela berpisah dengan teman-teman posko, tentu saja aku rela jadi guru tanpa bayaran. Padahal di Makassar, di tempatku mengajar, aku hanya berpredikat guru freelance karena masih harus sibuk dengan kuliah, tapi saat datang mengajukan lamaran sebagai guru Writing Process, aku tak segan-segan menyebut angka gaji yang kuinginkan. Pikirku, semua harus dibeli. Meskipun aku bukan mahasiswa kependidikan yang berbekal ilmu keguruan, tapi pengalamanku sebagai penulis yang harus dibayar.
”Kak Galang, kemarin saya demam. Nggak masuk sekolah. Padahal kemarin belajar bilangan ganjil dan genap. Saya tertinggal dong!” ucap Nuraeni.
Aku menuruni tangga setelah beberapa lama membiarkan diri dengan lamunanku. Semua oleh-oleh telah dikemas dalam karung. Tiga karung setengah. Tiga karung sayur-mayur dan setengahnya adalah buah alpukat dan segala macam kopi. Biji kopi yang belum digiling tapi sudah dipanggang, kopi bubuk, bahkan ada biji kopi yang masih harus dijemur lagi karena baru dipetik kemarin. Seolah tak ada yang tak mau memberiku oleh-oleh, tanpa pernah berpikir kalau aku tak tahu bagaimana menjemur kopi, apalagi mengelolanya hingga menjadi kopi bubuk.
”Sangat mudah membedakan bilangan ganjil dan genap,” tatapannya sangat senang menerima pelajaran tambahan itu.
Aku lalu memberi privat pada Nuraeni. Menyuruhnya menghitung dengan sepuluh jari tangan. Hitungan pertama dengan telunjuk kanan, hitungan kedua pindah ke telunjuk kiri, lalu jari tengah kanan di hitungan ketiga, begitu seterusnya hingga berakhir di ibu jari kiri di hitungan kesepuluh.
”Sekarang menghitung sampai tujuh dengan cara seperti tadi!”
Nuraeni dengan cepat menghitung sambil menaikkan jari kanan dan jari kiri secara bergantian. Tepat di hitungan ketujuh, tangan kanannya menampilkan empat jari kecuali ibu jari, dan tangan kirinya dengan tiga jari.
”Sekarang pasangkan jari-jari yang kanan dengan yang kiri!”
”Jari kelingking kanan nggak ada pasangannya, Kak!” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan jari kelingkingnya.
”Itu berarti angka tujuh adalah bilangan ganjil, karena salah satu jari kamu nggak punya pasangan. Kalo semua jari punya pasangan, berarti itu bilangan genap.”
”Tapi jari saya cuma sepuluh. Kalo angkanya 38, gimana?”
”Ambil angka yang terakhir, yaitu delapan!”
Dia kemudian menghitung dengan metode seperti yang kuajarkan. Saat tiba di hitungan kedelapan, di mana tangan kanan dan tangan kirinya menampilkan masing-masing empat jari, kecuali ibu jari, dia memasangkan jari-jari tersebut.
”Semua ada pasangannya. Berarti 38 itu bilangan genap!” ucapnya.
Dalam lima menit, Nuraeni telah bisa membedakan bilangan ganjil dan bilangan genap. Cara seperti itu sebenarnya tak pernah kudapatkan di bangku sekolah, tapi dulu diajarkan oleh mama saat menemaniku belajar. Mama memang cerdas, selalu mencari cara cepat saat mengajarku di rumah. Padahal mama bukanlah guru, tapi tentu saja tetaplah pendidik bagi aku, anaknya.
”Sudah pukul sebelas!” ucap salah seorang dari orangtua murid.
Aku terjaga. Hari ini aku sudah harus di Tongko sebelum ashar, karena penutupan sekaligus pelepasan mahasiswa KKN akan dilaksanakan ba’da ashar di kecamatan. Intania, murid kelas satu yang selalu terlambat datang ke sekolah karena rumahnya yang jauh dari sekolah, sudah memperlihatkan kelopak mata yang penuh dengan air mata. Tapi belum menangis.
”Kalo Kak Galang mau tinggal di sini, saya nggak akan terlambat lagi ke sekolah. Saya janji akan berangkat subuh-subuh ke sekolah.”
Kantong air mata yang dari tadi dipertahankan keutuhannya, bocor kini. Rupanya masih ada bagian dari negeri ini, di mana ilmu masih sangat langka, yang untuk mendapatkannya haruslah mengemis, menangis, seperti yang dilakukan Intania untukku. Padahal Kalimbua bukanlah suku terpinggirkan. Hanya butuh perjalanan lima jam untuk tiba di desa induk. Dan dari desa induk, hanya butuh dua jam untuk tiba di kota kecamatan. Pasar-pasar di Makassar, hampir semuanya mensuplai sayuran dari sini untuk kemudian dijual, bahkan pasarannya hingga ke Kalimantan. Tak cukup sepuluh kilometer dari kota kecamatan, berdiri gapura batas kabupaten, yang bertuliskan ”Selamat Datang Di Tana Toraja” daerah wisata yang terkenal hingga ke mancanegara. Tapi SD Kecil Kalimbua tak pernah dilirik.
Akan kuceritakan pada siapa pun bahwa kebanggaan yang paling luar biasa bagi seseorang adalah saat dia begitu berarti bagi orang lain. Tapi kenapa SD Kecil ini sering ditinggalkan oleh gurunya? Akhh, aku lupa suatu hal. SD Kecil ini berdiri atas swadaya masyarakat, karena keprihatinan mereka pada anaknya yang masih kecil yang tidak memungkinkan untuk pergi sekolah dengan jalan kaki.
Akhirnya niat masyarakat itu dijembatani oleh seorang guru yang kemudian mengaku sebagai pemrakarsa berdirinya SD Kecil. Saat yang tepat, karena guru tersebut memang hanya mencari popularitas untuk kemudian diprioritaskan dalam kenaikan pangkat. Pihak Diknas, menangkap itu sebagai ide cemerlang. Tapi setelah SD Kecil terbentuk, tak seperti yang diprogramkan. Tiga guru yang bertugas di sana tak ada yang betah. Tentu saja dengan alasan daerahnya yang terisolasi. Toh gaji diterima setiap awal bulan, meski mengajarnya hanya terkadang akhir bulan sampai awal bulan.
”Saatnya Kak Galang untuk berangkat!”
Aku tahu kalimatku tidak diinginkan. Semua mematung. Sementara kabut tebal yang selalu menyelimuti Kalimbua, mulai menipis pertanda pagi telah beranjak. Di dusun ini, matahari memang terkadang tak muncul berhari-hari. Hanya kabut yang setia membawa dingin. Iklim dingin seperti itu yang membuat daerah ini kaya akan sayur-sayuran. Aku memberanikan diri melangkah saat semua mematung menatapku.
”Harusnya Kak Galang tak pernah ada bersama kami.” Nuraeni mengucapkan itu dengan tangis. Dia melepaskan ayam yang terikat kakinya, yang digendongnya dari tadi, lalu berlari menumpahkan tangis di pelukan ayahnya.
Ternyata perpisahan ini terlalu melukakan baginya, hingga berpikir aku lebih baik tak pernah ada di kehidupannya daripada harus datang sesaat lalu pergi.
Kulirik jam di pergelanganku. Melihat kegelisahan itu, Rustan yang dari tadi berdiri di sampingku berlari naik ke rumah. Dia kemudian datang membawakan careel-ku. Rustan memang paling dekat dengan saya selama ini, karena selama dua bulan aku menginap di rumahnya. Mungkin karena hampir tiap malam mendengar cerita tentang kuliah dan pekerjaanku sebagai guru freelance hingga dia sangat sadar bahwa aku memang harus pergi.
”Oleh-olehnya gimana?” ucapku saat careel telah memeluk punggungku dari belakang. Ucapan yang sangat terbata, takut semakin melukai perasaan mereka. Tapi bagaimana mungkin aku membawa oleh-oleh sebanyak tiga karung setengah sementara untuk berjalan kaki tanpa beban pun menuju Tongko sangatlah berat.
”Ambil oleh-olehnya masing-masing!” perintah Rustan.
Anak ini punya bakat jadi pemimpin. Padahal dia baru kelas dua, tapi mampu membuat teman-temannya menatapnya sebagai murid paling dewasa di sekolahnya. Aku belum mengerti apa yang akan mereka lakukan. Semua isi karung itu dikeluarkan dan mereka memegang oleh-olehnya masing-masing.
”Kita antar Kak Galang sampai ke Tongko!” perintah Rustan.
”Horeee...!”
Kesedihan yang tadi membekukan, kini cair. Jadilah kami seperti rombongan karnaval. Jalan berbaris menyusuri perkebunan kopi dan ladang sayur-sayuran. Orangtua mereka ikut dari belakang, meski tak bisa ikut bernyanyi seperti yang sesekali aku lakukan bersama murid-muridku. Lima kilometer dilalui dengan tawa ceria. Berlarian. Beberapa siung bawang merah berjatuhan di pematang, saat anak yang membawanya tergelincir dan jatuh.
Teman-teman posko menyambut kedatanganku dengan mata melotot. Dia tak pernah menyangka kepergianku dilepas dengan ’karnaval’ panjang seperti itu. Tak ada lelah di mata mereka. Keceriaan tadi berganti lagi dengan kesedihan. Apalagi bis yang akan membawa kami pergi telah parkir di depan rumah kepala desa.
Di antara sedih, dibantu orangtuanya, mereka memasukkan kembali oleh-oleh itu ke dalam karung. Nuraeni menyerahkan langsung ayamnya padaku, tentu saja diiringi air mata. Teman-teman posko yang hendak usil dengan mengomentari ayam pemberian itu, jadi kelu. Isak Nuraeni pecah. Aku memeluknya. Kabut datang menyelimuti Tongko, seolah ingin menyembunyikan air mataku.
Tak hanya kabut. Tarian angin yang selama ini terkadang hanya berhembus sepoi, kini meliuk keras hingga membuat pohon-pohon yang harusnya ikut kelu dengan perpisahan ini, harus ikut menari. Tertiup angin, kabut yang menggulung dari Gunung Tongko, tercerai-berai, jatuh satu per satu setelah menipis seperti potongan-potongan kecil benang putih. Tipis. Menyerupai musim salju.
”Kalian harus rajin belajar, biar pintar seperti Kak Galang!”
Suaraku seolah tak terdengar. Aku sadar telah menangis. Mereka menikmati kesedihannya dengan menatapku tiada lepas. Satu per satu mereka datang mencium tanganku, memelukku hingga bahuku basah air mata.
”Kak Galang suatu saat akan kembali ke sini kan?” ucap Rustan. Satu-satunya murid yang mampu berucap saat memelukku. Yang lain hanya diam. Kerongkongan mereka hanya mampu mengeluarkan suara tangis yang kadang tertahan, membuat tangis itu terdengar semakin melukakan.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya hingga bis membunyikan klakson. Kulepas jas almamaterku, lalu kupasangkan di tubuh kecil Rustan. Meski dia sangat bahagia dengan pemberian itu, air matanya tetap saja datang mewakili sisi hatinya yang terluka.
Wajah mereka benar-benar hampa akan harapan saat aku melangkah menaiki bis. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan perihnya patah hati. Aku yakin, baginya, ini lebih dari patah hati. Setelah diberi harapan menapak masa depan, mengejar cita-cita, meraih bintang, tiba-tiba kompas yang diharapkannya harus hilang. Air mataku luruh. Lenganku bahkan tak bisa kuangkat untuk membalas lambaiannya, padahal bis sudah beranjak perlahan. Bergerak menjauh dari mereka, semakin jauh. Hingga akhirnya, hanya ruang di balik dadaku yang mampu mendengar tangis kehilangannya.
***
Acara pelepasan mahasiswa KKN di kota kecamatan, berlalu begitu saja. Suara tangis murid-muridku masih mengiang jelas. Sosoknya masih terbayang jelas.
”Kamu kenal dengan orang yang membawa kata sambutan di atas sana?” tanya Fauzi, teman posko yang kebetulan duduk berdampingan denganku.
Aku tak usah menjawab, karena kutahu itu retoris untukku. Sosok itu juga yang mewakili pak camat karena tak sempat hadir, membawa kata sambutan saat kami baru datang di wilayahnya ini dua bulan lalu.
”Dia itu alumni SD Kecil tempatmu mengabdi dua bulan.”
Aku menatap Fauzi tak percaya, tapi dia meyakinkanku dengan anggukan. Katanya, menurut cerita kepala desa, masih banyak pejabat kabupaten yang dulunya sekolah di SD Kecil itu, bahkan ada yang sudah menjadi anggota dewan. Bukan karena dulunya SD Kecil itu sekolah unggulan, tapi karena SD Kecil itu mendidik orang-orang yang berkemauan besar untuk maju.
Tapi mengapa tak ada yang kembali untuk membangunnya? Bukankah SD Kecil itu yang telah membuat mereka menjadi orang besar?
Sekolah itu telah mereka anggap sebagai ibu yang telah menelantarkannya dulu. Tak bisa memberi ASI yang cukup apalagi gizi sempurna. Dan giliran mereka sekarang untuk menelantarkan SD Kecil itu. Mungkin mereka telah merasa berhasil membalas sakit hatinya dengan ’mengutuk’ sekolah itu jadi batu, tak bisa tumbuh besar. Tapi, tanpa pernah mereka sadari, mereka juga adalah Pejabat Kundang. Guru-guru yang makan gaji dari sekolah itu, namun tak pernah mengabdi, juga adalah Guru Kundang.
Itu hanyalah sebagian kecil kedurhakaan, yang tanpa disadari telah membuat bumi ini sering murka.***

Read More......

PRESTASI SISWA

Forum Lingkar Pena & Jaringan Sekolah Islam Terpadu se- Makassar 2006
Juara I Lomba Baca Puisi
Juara II Tahfidz
Juara II Baca Puisi
Juara II Menulis Cerpen
Juara III Menulis Puisi
Juara III Baca Puisi


BEBERAPA PRESTASI YANG TELAH DIRAIH
SD Plus AL-ASHRI
1. Juara I Tadarrus Putra
Lomba Keterampilan Agama Islam Kec. Biringkanaya 2005
2. Juara III Tadarrus Putri
Lomba Keterampilan Agama Islam Kec. Biringkanaya 2005
3. Juara III Hafalan Surah
Lomba Keterampilan Agama Islam Kec. Biringkanaya 2005
4. Juara III Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an
Lomba Keterampilan Agama Islam Kec. Biringkanaya 2005
5. Juara II Praktek Sholat
Lomba Keterampilan Agama Islam Kec. Biringkanaya 2005
6. Juara I Menggambar & Mewarnai
Tingkat SD se Makassar Memperebutkan piala Wakil Gubernur 2006
7. Juara III Menggambar & Mewarnai
Bahari Makassarku Tercinta, 2006

8. Forum Lingkar Pena & Jaringan Sekolah Islam Terpadu se- Makassar 2006
Juara I Lomba Baca Puisi
Juara II Tahfidz
Juara II Baca Puisi
Juara II Menulis Cerpen
Juara III Menulis Puisi
Juara III Baca Puisi

9. Juara Harapan II Lomba Cerdas Cermat Tingkat SD kelas 1 – III
Di SD Mentari Indonesia, se-Makassar dan diikuti oleh beberapa sekolah unggulan dari daerah, memperebutkan piala bergilir Wali Kota, 2007
10. Juara Harapan I Lomba Komputer Matematika se-Makassar
Brand Kids, 2007
11. Juara II Lomba Baca Puisi Se-Makassar
Mesjid Ikhtiar, 2007
12. Juara I Da’i Cilik Se SDIT Makassar
FKMKI Universitas Hasanuddin, 2007
13. Juara I & II Lomba Menggambar & Mewarnai
FKMKI Universitas Hasanuddin, 2007
14. Utusan Kecamatan Biringkanaya dalam Lomba MATEMATIKA, yang diadakan oleh PASIAD Indonesia, lolos dalam babak seleksi se Sul-Sel, sekarang memasuki seleksi II tingkat Provinsi (sementara menunggu hasil)
15. Juara II Lomba Matematika Perorangan
JSIT Se Biringkanaya, 2007
16. Juara III Lomba Matematika Perorangan
JSIT Se Biringkanaya, 2007
17. Juara III Lomba Cerdas Cermat Matematika
JSIT Se Biringkanaya, 2007











Read More......

Sabtu, 20 Juni 2009

PENTAS TIVI



Salah satu kegiatan SIT Al ASHRI Makassar yang paling dinanti-nanti siswanya adalah Pentas Tivi. Di kegiatan ini, siswa kelas 3, 4, dan 5 akan menjadi 'aktor dan aktris dadakan' untuk bermain drama. Drama paling spektakuler yang pernah dipentaskan di tivi adalah drama ASHABUL KAHFI.

Sesuai dengan judulnya, drama ini mengisahkan tujuh pemuda yang tertidur di gua selama ratusan tahun. Sebagai drama sejarah, tentulah penulis naskahnya, yakni ibu Ir. Hj. A. Aliah Erlina, M.Si,perlu membaca beberapa referensi untuk kemudian menulis naskah seapik itu. Hasilnya...? Mengagumkan!
Hal yang paling luar biasa setiap Al Ashri mengadakan pentas tivi, baik naskah, propertiesnya selalu dirancang oleh gurunya sendiri. Jangan heran, jika di sekolah islam ini, tenaga pengajarnya bukan hanya ahli mengajar dan mendidik, tapi juga sebagai penulis, koreografer, desainer, tentu saja juga sebagai ustadz dan ustadzah bagi siswa-siswanya.

Read More......

PROFIL SEKOLAH ISLAM TERPADU AL ASHRI MAKASSAR



A. PENDAHULUAN
Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al-Ashri adalah lembaga pendidikan yang menjadikan pesan-pesan Islam sebagai dasar pembentukan manusia yang berilmu dan berakhlak mulia, dilandasi nilai-nilai Qur’an dan Sunnah sebagai roh dalam aktifitas pendidikan, baik di sekolah maupun luar sekolah. Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum pendidikan nasional yang dipadukan dengan kurikulum keislaman dan muatan lokal.


Lembaga pendidikan ini pada awal berdirinya (25 Juni 1999) hanya terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK) dan Play Group/ Kelompok Bermain. Kemudian pada tgl. 25 Juni 2002 resmi dibuka jenjang Sekolah Dasar (SD) yang waktu itu hanya menerima level kelas 1 dan 2 dan pada tahun ajaran 2008-2009 SMP Plus Al-Ashri resmi dibuka dan telah mendapatkan surat izin operasional serta nomor statistik dari dinas pendidikan.

Saat ini (Februari 2009) jumlah siswa SMP Plus sebanyak 10 orang untuk tahun pertama, SD sebanyak 305 orang dari level kelas 1 hingga kelas 6 (kelas paralel adalah kelas 1-6), setiap kelas sebanyak 20 hingga 25 orang siswa. Jumlah guru sebanyak 32 orang, pegawai administrasi 5 orang dan bujang sekolah 3 orang. Sedangkan TK dan Play Group sebanyak 120 orang dengan jumlah guru 11 orang, pegawai 1 orang dan bujang 1 orang.
B. ALAMAT
SIT Al-Ashri bertempat di Jl. Regency Barat Blok F No. 24, 25, 26 Perumahan Taman Telkomas Makassar 90245, Telp. (0411) 4771273

C. PENGELOLA
SIT Al-Ashri dikelola oleh Yayasan Alinska Amal Ilmiah yang beralamat di Jl. Satelit Raya Blok B1 No. 2 Perumahan Taman Telkomas Makassar.

D. VISI DAN MISI
Visi :
Mewujudkan generasi dambaan umat yang berakhlak mulia, cerdas, sehat, kreatif, mandiri, mampu menguasai dan mengembangkan ilmu dan teknologi yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan.
Misi :
1. Membangun dan membina generasi agar memiliki :
a. aqidah dan keimanan yang kokoh
b. akhlak dan budi pekerti yang mulia
c. kecerdasan, kreatifitas dan kemandirian yang tinggi, dan
d. tubuh yang sehat dan kuat.
2. Mengembangkan kualitas guru melalui peningkatan daya pikir, analitis, sikap istiqamah dan berakhlak mulia.
3. Memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik.
E. TUJUAN
a. Membentuk pribadi taqwa dan berakhlak mulia
b. Mendidik generasi islam agar memiliki dasar kecerdasan intelektual, emosianal, dan spiritual (IQ, EQ, dan SQ) yang matang.
c. Melahirkan generasi yang mandiri, memiliki kreatifitas yang tinggi dan bertanggung jawab.
d. Melahirkan generasi rabbani yang mampu bersosialisasi dan berperan di masyarakat.
e. Meningkatkan kualitas guru dan kualitas pelayanan pendidikan.

F. KURIKULUM & EKSTRA KURIKULER
Kurikulum
Kurikulum yang diberikan di SD Plus Al-Ashri diarahkan pada basis kompetensi sesuai dengan tujuan dan target pendidikan, dengan memadukan muatan Kurikulum Pendidikan Umum, Pendidikan Agama Islam dan Muatan Lokal, yaitu :

1. Kurikulum Umum (Dep. Pendidikan Nasional), terdiri dari :
a. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Sosial
b. Bahasa Indonesia
c. Matematika
d. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
e. Kesenian dan Kerajinan Tangan
f. Ilmu Pengetahuan Alam
2. Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah (Dep. Agama), terdiri dari :
a. Al-Qur’an dan Hadits
b. Aqidah dan Akhlak
c. Bahasa Arab
d. Sejarah Kebudayaan Islam
e. Fiqih
3. Kurikulum Lokal, terdiri dari :
a. Bahasa Inggeris
b. Mental Aritmetika/ Sempoa
c. Komputer
d. Writing
e. Kreatifitas
Ekstrakurikuler atau Kegiatan Penunjang
Kegiatan Pendidikan juga diperkaya dengan kegiatan ekstrakurikuler atau penunjang yang disusun dalam program kegiatan tahunan, terdiri dari :
a. Kepanduan
b. Sanggar seni dan kreatifitas
c. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) atau dokter kecil
d. Kunjungan edukatif
e. Kunjungan budaya/sejarah
f. Kunjungan sosial
g. Outbond dan pengenalan alam/lingkungan
i. Perayaan hari nasional
j. Perayaan Hari Besar Islam
k. Pementasan (Stasiun TV dan Panggung Hiburan)
l. Pemeliharaan tanaman dan ternak/ikan
m. Pemerikasaan kesehatan dan imunisasi
Selain itu, juga diberikan kegiatan pembiasaan berupa :
a. Pembiasaan bahasa asing (Arab dan Inggris) dalam setiap kesempatan baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas,
b. Praktek ibadah dan penanaman nilai-nilai Islam,
c. Pembiasaan sifat dan membangun karakter, yang dilakukan secara terpadu dan intensif.

G. METODE PEMBELAJARAN
SIT Al-Ashri menggunakan metode pembelajaran “Active Learning” dan “Quantum Learning”, dimana dalam proses pembelajaran memberikan kesempatan bagi anak berekspresi dan berkreasi seluas mungkin sehingga dapat menumbuhkan pribadi yang aktif, kreatif, mandiri dengan suasana yang dinamis dan menyenangkan.
H. PENUTUP
Kesuksesan SIT AL-Ashri melaksanakan program pendidikan dan pembinaan akhlak bukan hanya ditentukan dari guru-guru dan pengelola, tetapi juga sangat ditentukan dari kerjasama dan peran serta para orang tua siswa secara aktif. Oleh karena itu, orang tua dihimpun dalam lembaga Majelis Taklim Orang Tua Siswa sebagai mitra strategis dalam pengembangan pendidikan.

Read More......

Kamis, 18 Juni 2009

Market Day


HALAMAN Sekolah Dasar (SD) Islam Plus Al-Ashri berubah menjadi pasar. Banyak stand dengan dagangan yang beraneka raga. Memang, Sabtu (18/4) lalu itu, murid sekolah yang berada di Kompleks Taman Telkomas itu mengadakan Market Day (Hari Pasar).

Pasar dadakan ini dipenuhi murid dan orang tua murid. Layaknya pasar, terdengar suara anak-anak yang menawarkan dagangannya.
Market Day merupakan kegiatan baru yang digelar sekolah tersebut sebagai penjabaran dari pelajaran IPS yang telah dipelajari murid di kelas. Seluruh murid mulai dari kelas I sampai kelas VII (kelas I SMP) terlibat dalam kegiatan tersebut.

Read More......